Kisah Inspiratif: Ilmu Si Pemancing
Alkisah, di tepi sebuah sungai, tampak beberapa orang yang sedang memancing. Di antara para pemancing di sana, terdapat dua orang yang terkenal karena kepandaiannya memancing. Setiap hari ikan hasil tangkapan mereka berdua selalu berhasil memenuhi ember yang mereka bawa. Penduduk disekitar situ pun sangat mengagumi mereka. Tak berapa lama, sekelompok anak muda mendatangi kedua pemancing dengan maksud ingin berguru kepada mereka.Â
Saat mendengar maksud dan tujuan para pemuda itu, diam-diam si pemancing pertama pergi menghindar mereka sambil menggerutu,Â
“Enak saja anak-anak muda itu mau berguru kepadaku! Ilmuku tidak akan kubagikan percuma kepada mereka. Toh tidak ada untungnya! Lebih baik waktuku kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendapatkan ikan yang  banyak.â€
Sedangkan pemancing yang lainnya dengan ramah membalas sapaan para pemuda yang datang menghampirinya.Â
“Kalian ingin belajar memancing? Silakan saja. Bapak dengan senang hati akan mengajari kalian.â€Â
Setelah mendengarkan rahasia memancing dengan sangat seksama, para pemuda pun membuat sebuah kesepakatan bahwa setiap masing-masing dari mereka mendapatkan 10 ikan tangkapan, maka akan disisihkan satu ekor sebagai tanda rasa terima kasih. Berkat kebaikan dan kemurahan hati si pemancing dalam membagikan ilmunya, maka di kemudian hari, si pemancing tidak perlu harus memancing ikan setiap hari. Hasil tangkapan yang disisihkan oleh para muridnya ternyata mampu menunjang hidupnya. Sementara itu, si pemancing yang lain harus melakukan pekerjaan memancing terus menerus sepanjang hidupnya karena memancing hanya satu-satunya sumber penghasilan untuk menghidupi dirinya dan keluarga.Â
Sobat Souja,Â
Berbahagialah mereka yang mau memberi tanpa mengharapkan balasan. Karena hukum alam selalu memberi imbalan atas setiap perbuatan baik, tanpa perlu kita memintanya. Maka pada saat kita bisa mempunyai kesempatan untuk memberi, berilah dengan tulus! Pada sisi lain, suatu waktu, kita pasti akan mendapatkan berkah dan menuai hasil dari kerja keras kita.Â
Elin Septianingsih