Gagal

Maaf Anda telah memasukkan alamat email yang tidak valid !

Kisah Inspiratif: Menanam Zaitun

Copy to clipboard copy-link
Kisah Inspiratif: Menanam Zaitun
Mukidi sedang mengunjungi desa Sarwogumuyu yang pernah tertimpa musibah banjir. Sambil melihat-lihat, ia tertarik kepada seorang pemuda yang sedang menanam pohon. Pemuda itu bertubuh kekar & kuat, tetapi ia tampak loyo tidak bersemangat.


“Mas, anda tampak lelah, anda sakit ?”


"Saya tidak sakit pak, saya hanya tidak menyukai pekerjaan ini. Saya membantu ayah saya, orang memanggilnya mbah Tanpongresulo untuk menanam tiga ratus pohon zaitun. Kalau bukan karena ayah, saya tidak akan melakukannya. Bayangkan, tiga ratus pohon zaitun? Belum juga seratus pohon, saya sudah KO,” keluh sang pemuda.


“Dimana ayahmu? Mungkin aku bisa bicara dengannya..”


“Beliau ada di belakang bukit ini” ujar si  pemuda kekar nan malas ini sambil menggerakkan tangannya menunjukkan arah.


Sesampai di arah yang ditunjuk, Mukidi tertegun. Dilihatnya, pohon yang telah ditanam si mbah jauh lebih banyak dari pemuda tadi, padahal mbah Tanpongresulo sudah renta, ia bekerja penuh semangat. Kagum, Mukidi menghampiri si mbah: 


"Perkenalkan nama saya Mukidi. Saya lihat mbah demikian bersemangat. Apakah mbah juga menanam zaitun?”


“Ya, saya sedang menanam pohon zaitun” jawab mbah Tanpongresulo.


“Sebanyak ini? Untuk apa? Lagipula, bukankah pohon zaitun baru berbuah 6-7 tahun kemudian?” Mukidi penasaran. “ Melihat usia mbah, mungkin mbah tidak bisa lagi mengunyah dan menikmati buahnya, lantas apa untungnya?”


“Pertanyaan nak Mukidi sama seperti pertanyaan anak saya. Nak Mukidi mungkin telah berjumpa dengan anak saya, ia anak yang baik, walau ia tidak memahami sepenuhnya alasan saya, tapi ia tetap membantu karena ia tidak ingin saya mengerjakan semuanya sendirian”.


“Nak, saya memang tidak berniat untuk merasakan manfaat dari pohon yang saya tanam ini. Saat pohon ini berbuah, belum tentu saya masih hidup. Saya menanam pohon-pohon ini, karena buah zaitun yang selama ini saya nikmati juga berasal dari pohon yang ditanam oleh orang sebelum saya. Saya ingin membalas kebaikan mereka dengan menanam kebaikan yang sama. Membayangkan buah zaitun yang berlimpah yang bisa dinikmati banyak keluarga, pohon yang hijau dan rindang yang memberikan naungan dari terik matahari dan derasnya hujan, serta minyak zaitun yang memberi banyak manfaat. Semua itu membuat saya bersemangat untuk menanam pohon sebanyak yang saya bisa.”


Mukidi tercenung mendengar jawaban sang kakek. Ia tidak hanya melihat ketulusan dan kebaikan hati mbah Tanpo, ia juga melihat perbedaan motivasi yang menggerakkan si pemuda loyo dan ayahnya itu. Sementara sang pemuda melihat pekerjaan tadi sebagai beban yang harus ditanggungnya, di sisi lain ayahnya terdorong oleh gambaran indah dari hasil yang akan dicapainya. Diakuinya, ia juga melakukan hal yang serupa dengan sang pemuda. Walau ia berusaha bekerja sebaik-baiknya, itu semua dilakukan untuk menghormati kebesaran ayahnya, agar warisan ayahnya tetap terjaga dengan baik. Itu semua adalah beban yang harus ditanggungnya sebagai penerus nama besar ayahnya. Sekarang Mukidi bisa melihat bahwa semuanya terserah pada dirinya, apakah ia memilih melihatnya sebagai beban, atau fokus pada gambaran indah yang bisa dicapainya.


“Mbah, kebaikan  mbah telah memberi pelajaran untuk saya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pelajaran yang saya peroleh, terimalah hadiah dari saya” Mukidi mengulurkan beberapa lembar 100 ribuan.


Mbah  Tanpongresulo kaget menerima hadiah tidak disangka tersebut, tersenyum dan berkata 


“Nak Mukidi, tadi nak anda bertanya ‘apa untungnya?’. Lihatlah, belum juga selesai saya menanam, walau bukan buah dari pohon yang saya tanam, Tuhan telah memberi rizki melalui tangan nak Mukidi.”


Mukid kembali tertegun, ia memang tidak percaya apa yang disebut kebetulan, karena kebetulan hanya mungkin timbul dari ketidakteraturan murni, sementara pengalamannya mengajarkan bahwa problem paling kusut pun memiliki pola-pola keteraturan yang memungkinkannya untuk diuraikan. Bukanlah kebetulan kalau hari ini ia bertemu orang tua istimewa itu, dan bukanlah kebetulan pula jika kebaikannya diganjar beberapa ratus ribu rupiah melalui perantaraan dirinya.


Ia lantas memeluk si mbah. “Terima kasih atas pengajarannya mbah,” ujarnya.


Sumber: www.ceritamkidi.wordpress.com
Elin Septianingsih

Elin Septianingsih

Artikel Terkait

Rekomendasi Artikel